JAKARTA-Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang hunian bagi Asing merupakan pintu masuk neo-kolonialisme. Regulasi ini menurut Gerakan Pribumi Indonesia (GEPRINDO) sangat merugikan pribumi yang belum tahu kapan memiliki rumah sendiri.
” Liberalisasi hunian akan semakin memacu tingginya harga properti di Indonesia. Ini jelas kebijakan yang tak bijak bahkan cenderung menginjak pribumi sebagai pemilih sah tanah serta yang terkandung di dalamnya,” kata Ketua Presidum Geprindo, Bastian P Simanjutak, Jumat (28/4).
Menurut penilaiannya, pemerintah saat ini tidak berpihak pada pribumi, harusnya memberi solusi bagi warga negaranya terutama pribumi untuk memiliki rumah namun yang dilakukan malah sebaliknya. Ini pengkhianatan atas Pancasila khususnya sila ke-5.
Penerapan regulasi ini harus segera dihentikan, GEPRINDO mendesak pemerintah untuk mencabut PP No 103 Tahun 2015 sehingga kebutuhan pribumi atas kepemilikan rumah sendiri bukan sekedar impian semata.
“Pemerintah harus memahami pendapatan aparatur negara (PNS, TNI/POLRI) sendiri saja belum mampu membeli rumah sendiri konon lagi pekerja pabrik dan buruh serta profesi lain yang hanya cukup untuk makan sehari-hari,” tuturnya.
Bila PPN 103 terus dipaksakan bisa saja setengah pribumi bahkan lebih akan selalu hidup dikontrakan. Padahal negeri ini milik pribumi dan segala kekayaan alam adalah hak pribumi. Pemerintah memiliki kewajiban mensejahterahkan pribumi bukan sebaliknya.
GEPRINDO mengingatkan pemerintah bahwa PP No 103 cenderung menjadikan pribumi dan WNA sama kedudukannya. Ini bentuk makar pemerintah terhadap rakyatnya sendiri, ini cara-cara mengusir negara terhadap pribumi. Kepemilikan hunian oleh WNA jelas tidak sejalan konsep trisakti gagasan besar Soekarno yang Jokowi ingin lanjutkan konsep tersebut.
Trisakti menghendaki Bangsa Indonesia berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara sosial budaya. Pertanyaan besar bagi pemerintahan hari ini, apakah liberalisasi hunian sejalan dengan kemandirian ekonomi yang diinginkan Trisakti. Tentu tidak, bahkan cenderung menjadi budak dari kapitalisme. (raja)