Oleh: Suluh Budi Utomo
Rabu 6 Desember 2017, Donald Trump dinilai Jerussalem sebagai ibu kota Israel. Tak pelak, berbagai protes dan perlawanan muncul, baik dari umat Islam maupun non muslim. Jadi umat Islam, tentunya kita akan berfikir bagaimana pendudukan Israel atas Palestina bisa berakhir?
Mungkin kondisi kita hari ini mirip dengan kondisi kaum muslimin saat Baitul Maqdis dikuasai oleh kaum Salib. Pada tanggal 22 Sya’ban 492 H, bertepatan dengan 15 Juli 1099 M. [1] Yaitu saat musuh-musuh Islam berlaku semena-mena terhadap tanah suci kaum muslimin dan umat Islam tidak bisa sama apa-apa.
Hal itu terus berlangsung hingga hampir satu abad terakhir. Kondisi itu berakhir saat Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil membebaskan Baitul Maqdis pada tahun 583 H, 91 tahun pasca pendudukan tentara Salib. Ini mengisyaratkan adanya proses panjang dan multi dimensi yang dilakukan oleh umat Islam saat itu, sampai buahnya terlihat 91 tahun kemudian.
Ustadz Walid An-Nuwaihid mengatakan, “Kemenangan Shalahuddin tidak terjadi secara spontan. Kemenangan militer yang berhasil diwujudkan oleh Shalahuddin tidak akan berhasil tanpa adanya upaya-upaya politik, pengaturan, manajemen, perbaikan dan peningkatan (ilmu dan kesadaran beragama) yang berlangsung selama lebih satu abad. Dan buahnya mulai dipetik pada masa Imaduddin Az-Zinki, Nuruddin Mahmud Az-Zinki yang merupakan pelopor sebenarnya bagi perubahan besar yang disaksikan oleh Ngeri Syam dan Mesir. [2]
Lebih lanjut Ustadz Walid mengatakan, “Lompatan besar yang terjadi di Syam dan Mesir pada akhir abad ke-6 Hijriah, diawali dengan adanya gerakan Ishlahiyah (diperbaiki) pada dua sektor. Kebangkitan ilmu agama dan kembalinya Khilafah Abbasiyah memainkan perannya. Dari dua sektor ini ditambah upaya yang dilakukan oleh generasi pertama yang diprakarsai oleh para ulama dan fuqoha, lahirlah gerakan politik agama. [3]
Membaca penggambaran Ustadz Walid Nuwaihid di atas, rupa proses al-Quds ke pangkuan kaum muslimin, bereskan sekonyong-konyong. Lebih jauh, kita bisa melihat Baitul Maqdis adalah parameter kekuatan kaum muslimin. Cara untuk memulihkannya pun menghajatkan perbaikan kaum muslimin di berbagai sektor.
Dari sini muncul pertanyaan, mengapa untuk membalik Baitul Maqdis butuh upaya besar satu abad? Kalau kita melihat kondisi umat Islam saat itu, maka kita akan paham mengapa balik Baitul Maqdis membutuhkan waktu selama itu.
Secara keagamaan, kala itu umat Islam sibuk bertikai satu sama lain. Fanatisme mazhab memungkinkan kaum muslimin tersekat dalam batasan-batasan mazhab dan aliran keyakinan.
Gambaran akan sengitnya rivalitas antar mazhab saat itu diceritakan oleh Syaikh Majid Arsan Al-Kailani, katanya, “Pada tahun 521 H, Abul Fath Al-Isfariyini Masuk Baghdad dan menyampaikan ilmunya di Masjid Al-Manshur. Manusia berkumpul di majlisnya. Hal ini buat pengikut fanatik Hanabilah tidak senang, jadi mereka berseru, “Ini adalah arus Hanbali, tidak ada hari untuk pengikut mazhab Syafi’i atau Asy’ari.” [4]
Di sisi lain, ajaran Bathiniyah yang dianut oleh Bani Ubaidiyah merebak di tengah-tengah kaum muslimin. Paham wihdatul wujud (bersatunya Zat Allah dengan makhluk) juga marak menyebar pada masa-masa itu.
Sementara secara politik umat Islam dibawah dualisme khilafah. Ada khilafah Syi’ah Ubaidiyah (Fathimiyah) di Mesir dan khilafah Abbasiyah Sunni di Baghdad. Di antara yang terjadi perang, bahkan Fathimiyun minta bantuan pasukan Salib guna melawan khilafah Abbasiyah. Bani Fathimiyah menjadi penghalang utama dibebaskannya Baitul Maqdis, mereka menangkapi komandan-komandan dan ulama kaum muslimin yang sedang berperang melawan kaum Salib. [5]
Kondisi ekonomi umat saat itu juga terpuruk, barang-barang mahal, jurang antara si kaya dan miskin terlalu jauh, penimbunan bahan halalah, kemiskinan merajalela. Bahkan namanya adalah harga sebutir telur satu dinar. [6]
Ahli Tarikh, Abu Syamah mengambarkan kondisi saat itu yaitu, “Mereka mirip masyarakat Jahiliyah. Orientasi mereka hanya perut dan bawah perut. Mereka tidak mengenal yang ma’ruf dan munkar. “[7]
Sementara itu Rahalah bin Jubair dengan kondisi Ahlul Masyriq (Timur Arab, yaitu Membentang dari Mesir Syam dan Jazirah Arab), “Selain itu semua di sisi timur kelompok sesat dan ahlu bid’ah, berpecah belah dan bercerai berai, kecuali mereka yang dijaga oleh Allah. “[8]
Setelah mengulas tentang kondisi saat itu, kira-kira mungkinkah bagi kaum muslimin masa itu menghadang agresi kaum islam terhadap Baitul Maqdis? Pertanyaan berikutnya, dengan kondisi seperti itu, apakah kembalinya Baitul Maqdis ke pangkuan kaum muslimin setelah 91 tahun, buah dari upaya pribadi Shalahuddin atau upaya besar lintas generasi sebelumnya? Lantas bagaimana cara lintas generasi itu dilakukan?
Faktor pertama yang menjadi tonggak perubahan bagi dunia Islam saat itu adalah kembalinya peran khilafah Abbasiyah yang sempat mendapat serangan dan infiltrasi oleh Daulah Fathimiyah. Bahkan diceritakan pada tahun 450 H, Daulah Fathimiyah mampu melakukan kudeta militer terhadap khilafah Abbasiyah. Kudeta itu dilakukan oleh Al-Basasiri. [9]
Namun, pendudukan Baghdad oleh Daulah Fathimiyah tidak lama lagi, karena pada tahun 451, Sultan Saljuq yang disebut Thoghrul Bek berhasil merebut Baghdad dan membunuh Al-Basasiri. Hal ini membuat khilafah Abbasiyah mulai bangkit sedikit demi sedikit dari keterpurukan.
Faktor kedua yang menjadi elemen kebangkitan adalah lahirnya madrasah nidzomiyah pada tahun 459 H yang diprakarsai oleh perdana mentri kesultanan Saljuq, yaitu Nidzomul Mulk. Beliau menjadi perdana menteri selama 30 tahun pada masa Sulthan Alib Arsalan dan putranya Malik Syah.
Dari madrasah inilah para ulama-ulama besar yang buku-bukunya memberikan pencerahan kepada umat. Diambang kitab Adabud Dunya Wad Din, karya Imam Al-Mawardi, beliau juga mengarang kitab Al-Ahkam As-Sulthoniyah, sementara imam Al-Juwaini mengarang kitab Ghiyatsul umam fi Tayyatsi Dzulm dan kitab-kitab lainnya. Madrasah dan para ulama ini bisa membebaskan umat dari kebodohan, mendekatkan rakyat dengan agama dan meredam perpecahan serta menjaga umat dari pemikiran Bathiniyah yang sesat.
Hubungan antara ulama dan umara juga bagus, hal ini membuat penganut Bathiniyah tidak merasa senang, hingga mereka membunuh Nidzomul Mulk pada tahun 485 H, 7 tahun sebelum jatuhnya Al-Quds. [10]
Faktor lain adalah diberikannya laluan kepada orang-orang yang kompeten untuk memegang posisi-posisi strategis. Sebagai contoh, Nidzomul Mulk mengecam Sultan untuk mengangkat Aq Sunqur sebagai gubernur Aleppo, Hamma, Manbij dan Latakia. Saat Aq Sunqur terbunuh, dia digantikan oleh anaknya Imaduddin Zinki yang sedang maju perjuangan bapaknya melawan agresi Salibis. [11]
Pada tahun 521 H, Imaduddin Zinki diangkat menjadi walikota Mosul oleh Sultan Saljuq kala itu, beliau dibantu oleh alumni Marwan Thonzi dari madrasah Nidzomiyah. Duet ini mampu menyatukan wilayah-wilayah kaum muslimin, termasuk beberapa daerah Syam. Hingga pada tahun 539 H, Imaduddin Zinki mampu membebaskan Roha, yang merupakan wilayah Salibis di negeri kaum muslimin. Tidak lama setelah itu, yaitu pada tahun 541 H, dia terjemah karena diracun oleh salah satu pembantunya. [12]
Dia digantikan oleh anak yang bernama Nuruddin Mahmud Zinki yang terus seragan terhadap agresor Salib di tanah Syam. Di antara langkah startegis yang sedang dilakukan adalah mengutus Asadudin Syirkuh dengan Shalahuddin untuk membantu konflik internal yang terjadi di daulah Fathimiyah. Di saat salah satu pihak meminta bantuan kepada Salibis, pihak lain meminta bantuan ke Nuruddin Zinki.
Tujuan Nuruddin Zinki mengutus Asaduddin Syirkuh ke Mesir guna memuluskan jalan pembebasan Baitul Maqdis. Dia pernah mengatakan, “Tidaklah saya melakukan upaya pembebasan Mesir (dari tangan Fathimiyah) untuk melindungi Sahil (pesisir Syam) dan mencabut kekuatan kafir (Salibis).” [13]
Namun sebelum mimpinya terwujud, dia wafat pada tahun 569 H, setelah mampu mengembalikan 50 kota kaum muslimin ke pangkuan umat Islam dan mempersatukannya dan syam di bawah satu komando. Sudah mestinya sudah meminta untuk membangun masjid minam masjid Al-Aqsa untuk dipakai jika Baitul Maqdis berhasil dibebaskan.
Estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh Shalahuddin Al-Ayyubi. Baru setelah 14 tahun Shalahuddin mampu membiayai Baitul Maqdis. Selama masa kuasanya Shalahuddin melakukan beberapa langkah strategis untuk membacakan Baitul Maqdis, di diolah:
1). Menumbangkan Daulah Fathimiyah pada tahun 564 H.
2). Pasca penobatan sebagai Sultan, Shalahuddin tidak langsung bergerak melawan pasukan Salib, akan tetapi beliau fokus menjaga stabilitas dalam negeri terlebih dahulu, dengan meminimalisir sengketa dengan pewaris Nuruddin Zinki dan para wali kota daerah-daerah Irak dan Syam.
3). Memperkuat pertahanan Mesir dan mempersiapkan pasukan darat dan laut.
4). Memanfaatkan sengketa perdagangan yang terjadi antara negara-negara Salib. Shalahuddin membuat kesepakatan dengan saudagar-saudagar Eropa agar mereka menghentikan donasi mereka bagi tentara Salib, sebagai ganti Shalahuddin memberikan layanan istimewa dan tax amnesti bagi mereka.
5). Memanfaatkan perselisihan internal antara Romawi Timur dan Barat.
6). Membangun kekuatan angkatan laut.[14]
Hal yang perlu menjadi catatan adalah kelihaian Shalahuddin dalam melakukan perjanjian damai. Walau bagaimanapun perang tetap membutuhkan dana dan stabilitas ekonomi yang cukup, maka Shalahuddin memanfaatkan periode-periode damai untuk menstabilkan ekonomi pasca perang.
Kemenangan demi kemenangan mampu diraih oleh Shalahuddin hingga akhirnya pada perang Hittin tahun 583 H pasukan Shalahuddin mampu menang dan menjadi jalan lurus untuk mengembalikan Baitul Maqdis.
Sebagaimana telah disinggung di awal tadi, kemenangan Shalahuddin tidak hanya bertumpu pada aspek militer saja. Tapi pembenahan dilakukan di berbagai sektor kehidupan kaum muslimin. Di antaranya :
1). Menumbangkan Daulah Fathimiyah dan gerakan Bathiniyah yang memiliki dampak buruk terhadap agama dan dunia kaum muslimin, bahkan mereka sering membantu musuh Islam.[15]
2). Melanjutkan upaya Nidzomul Mulk dalam membangun madrasah-madrasah, merawa para ulama dan penuntut ilmu, menggalakkan halaqoh-halaqoh taklim, guna melahirkan generasi baru yang mampu sabar atas beban-beban jihad, membrantas pikiran-pikiran menyimpang, khuraofat dan bid’ah dari kehidupan kaum muslimin.[16]
3). Membangun masjid, benteng, menggalakkan wakaf dan pengasuhan terhadap anak-anak yatim dan fakir miskin.[17]
4). Memperkuat lembaga peradilan syariat dan memperluas pengaruhnya dan menghentikan intervensi-intervensi yang dilakukan oleh para wali kota dan komandan.[18]
5). Memberikan perhatian yang tinggi untuk melahirkan komandan perang yang memiliki celupan keislaman yang baik.[19]
6). Mempersiapkan anak-anak pengungsi Baitul Maqdis untuk jihad fi sabilillah. Yaitu dengan memberi mereka tempat tinggal dan pengajaran yang cukup untuk kembali mengisi perbatasan-perbatasan.[20]
7). Memperbaiki kondisi ekonomi, menghapus penerapan pajak dan memegang prinsip-prinsip syariat dalam ekonomi, sehingga orang-orang kaya dengan senang hati mendistribusikan harta mereka, Taraf kehidupan semakin membaik, orang-orang kaya menghidupkan perekonomian, meninggalkan kehidupan mewah, mereka membantu membangun penampungan air dan jembatan-jembatan.[21]
8). Memperkuat industri pertahanan, sebagai contoh mendirikan angkatan laut di tiga kota, Kairo, Alexandria dan Dimyath.[22]
Seluruh upaya-upaya tadi jika kita ingin mengambil merah, kita akan menyimpulkan bahwa kembalinya Baitul Maqdis ke pangkuan kaum muslimin erat kaitannya dengan kembalinya elemen-elemen umat kepada Allah, berlandaskan pada ilmu yang benar dan pengamalannya. Yang terwujud dalam kerjasama dan hubungan yang harmonis antara ulama dan umara dan kesabaran yang tinggi menapaki tangga demi tangga kemenangan. Wallahu a’lam bissowab[kiblat.net]
Miftahul Ihsan Lc
[1]. Ibnul Atsir, Al-Kamil Fit Tarikh 9/19
[2] Shalahuddin Al-Ayyubi, Suquthul Quds wa Tahriiruha, Hal 78
[3] Shalahuddin Al-Ayyubi, Suquthul Quds wa Tahriiruha, Hal 78
[4] Hakadza Dzoharo Jiilu Shalahuddin, Hal 50
[5] Ibid, Hal 54 dan A Yu’idut Tarikh Nafsahu, Hal 75
[6] Ibid, Hal 77 dan A Yu’idut Tarikh Nafsahu, Hal 18
[7] Ibid, Hal 84
[8] Ibid, Hal 85
[9] Ibid, Hal 89 dan At-Tarikh Al-Islami, Mahmud Syakir 6/201
[10] A Yu’idut Tarikh Nafsahu, hal 68, Hakadza Dhoharo Jiilu Shalahuddin, hal 103, Siyar A’lamin Nubala 19/94.
[11] Hakadza Dzoharo Jiilu Shalahuddin, hal 285
[12] Ibid, hal 287, A Yu’idut Tarikh Nafsahu, Hal 79, At-Tarikh Al-Islami 6/282
[13] Muqowwimat Harakatil Jihad Dhidda Sholibiyyin, Hal 21
[14] Shalahuddin Qiro’ah Mua’shiroh, hal 94-111
[15] Hakadza Dzoharo Jiilu Shalahuddin, Hal 77 dan A Yu’idut Tarikh Nafsahu, Hal 18
[16] Ibid, hal 291 dan A Yu’idut Tarikh Nafsahu, Hal 70
[17] A Yu’idut Tarikh Nafsahu, Hal 80 dan Shalahuddin Qiro’ah Mua’shiroh, Hal 94
[18] A Yu’idut Tarikh Nafsahu, Hal 83
[19] Hakadza Dzoharo Jiilu Shalahuddin, Hal 301
[20] Ibid, Hal 319
[21] Ibid, Hal 331
[22] Ibid, Hal 341