PELANGGARAN UU ITE TAK PERLU DIPENJARAKAN

“Sehebat apapun UU ITE dibuat, tak akan berevolusi, dan masih belum dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Bahkan perjalanan UU ITE menjadi momok yang menyeramkan bagi masyarakat.”

“Sehebat apapun UU ITE dibuat, tak akan ada, dan masih belum dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Bahkan perjalanan UU ITE sedunia menjadi momok yang menyeramkan bagi masyarakat. Betapa tidak? Pasal-pasal dalam UU tersebut pada akhirnya malah mudah dimanfaatkan oleh pihak- pihak yang dekat dengan kuasa dan politik untuk memenjarakan kebebasan berekspresi.

Sasarannya? Tentu saja lebih banyak para netizen yang biasa terjerat kasus karena postingan atau kiriman pesan mereka di berbagai media sosial dan messenger. Seperti delik pengaduan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Ancamanotak penjara di balik undang-undang ini sangat memberatkan sehingga merampas hak kemerdekaan dan berekspresi seseorang “.

JAKARTA- “Kehadiran UU ITE semakin hari tidak memberikannya bagi seseorang, tentu saja suka memunculkan perampasan hak seseorang dalam mengkritik atau mengekpresikan dirinya atas kebijakan pemerintahan lokal,” kata pengacara muda dan energik Mochamad AA, SH, M.Hum atau biasa dipanggil publik AA.

Menurut AA, seperti pasal 27 ayat 3 UU ITE bermanfaat digunakan sebagai alat untuk balas dendam, karena dengan mudahnya menahan orang. Bagi mereka yang memiliki pengaruh sosial yang kuat dan kekuatan politik seperti kepala daerah dan pengusaha, maka UU ITE memiliki dampak buruk. Akibat ketidakjelasan unsur dari ketentuan pasal 27 ayat 3 sehingga menghasilkan interpretasi masif, jelasnya.

Perlu diketahui bahwa semenjak terlihat UU ITE tersebut sudah banyak korban yang terjerat hukum ITE, sementara rata-rata pelapor adalah aparatur negara. Disusul profesional dan masyarakat sipil dan pelaku bisnis.

Proses persidangan yang dijalani para korban pemberlakuan UU ITE belasan kali. Belum lagi ia menunggu waktu bergidum disidangkan selama berjam jam karena tidak pasti di PN.

Pengacara muda dan energik Mochamad AA, SH, M.Hum saat di dihubugi via telp tak menampik fakta beberapa bagian UU ITE ternyata berpotensi dijadikan “senjata” oleh kelompok-kelompok tertentu yang berkepentingan. Karena itu, Pengacara muda dan energik ini menganggap, literasi terhadap pengguna media elektronik perlu digalakkan sampai ke kampung-kampung.

Hal ini penting dilakukan oleh kalangan akademisi untuk memberikan pendidikan literatif hukum kepada warga agar mereka tersedia.

“Ini PR bagi masyarakat sipil,” tegas Mochamad AA, SH, M.Hum yang sukses terjerumus dalam skala kecil dan besar, tegasnya.

Untuk itu, AA meminta, memahami kepada pemerintah maupun DPR agar kasus-kasus yang menyangkut UU ITE diarahkan ke le hukum (tort) saja, tanpa harus dipenjarakan, katanya.

Lebih jauh AA menjelaskan, meski UU ITE sudah diberlakukan di masyarakat, ternyata masih belum dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yaitu masih marak beredarnya konten-konten pornografi dimedia internet maupun dalam bentuk keping vcd.

Sudah ada benjolan politik yang dilarang menyebarluaskan pornografi, apalagi itu ganti atas pelaksanaan UU ITE hampir tidak terlaksana. Beberapa contoh yang menyebarluaskan pornografi lewat warung internet, misalnya, tidak pernah ditindak.

Mereka yang menyebarluaskan pornografi melalui VCD juga tidak mendapatkan surat kuasa. Jika dilihat dari dampak yang ditimbulkan pornografi sangat merusak moral masyarakat bagi anak-anak, tentu saja sudah berapa banyak kasus tindakan asusila yang dilakukan anak dibawah umur akibat pengaruh pornografi yang masih bebas liar.

Situs jejaring sosial, situs jejaring sosial, situs jejaring sosial, situs komunitas pornografi.

Hal ini dapat membuktikan masyarakat sendiri juga belum memiliki kesadaran untuk memanfaatkan internet sebagai media mengekspresikan gagasan dengan bijaksana, termasuk juga dalam memilah konten-konten dimedia internet mana yang bermanfaat maupun tidak. Maka bisa dikatakan, UU ITE belum bisa merubah pola masyarakat dalam melakukan transaksi elektronik yang baik, jelasnya.

Maka langkah paling awal yang bisa dilakukan adalah berkolaborasi dengan akademisi, profesi dalam pembuatan suatu kebijakan. Namun sebelum dibuat kebijakan, ada gunanya melakukan percobaan di luar negeri.

Kerja sama akan jauh lebih murah. Lihat saja beberapa undang-undang yang ditetapkan pemerintah masih menuai kontroversi dimasyarakat, kata pengacara muda yang energik Mochamad AA, SH, M.Hum. 

(jauh / red / sentral satu)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.