JAKARTA-Betul KKP melaksanakan penenggelaman Kapal pelaku IIU Fishing adalah sah secara hukum (UU Perikanan No.31/2004). Tetapi pemusnahan kapal dengan cara dibom untuk ditenggelamkan, bukan satu-satunya cara yang diperintahkan dalam UU.
“Kapal sitaan yang inkracht secara hukum bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat, termasuk dihibahkan kepada kelompok nelayan melalui koperasi perikanan,” sebut, Prof. DR. Rokhmin Dahuri.
Lanjutnya, kalau di perairan Malaysia kapal-kapal pelaku IIU fishing juga sama dimusnakan, setelah dinyatakan bersalah oleh keputusan mahkamah. Pemusnahan dilakukan dengan cara “dismantle” atau dibongkar/dipreteli tanpa upacara hiruk pikuk seperti penenggelaman kapal di Indonesia yang heroik, hebo dan terkesan bar-bar.
“Untuk upacara penenggelaman satu kapal saja perlu biaya ratusan juta, coba hitung sendiri untuk 363 kapal yang sudah ditenggelamkan, berapa jumlah uang yang sudah dibakar,” tukasnya.
Jumlah uang tersebut signifikan kalo digunakan untuk modal operasional nelayan kecil “cantrang”. Belum lagi puing-puing kapal akan mengotori ekosistem laut, bangkai kapal yang tenggelam juga akan mengotori laut bahkan bisa mengganggu alur pelayaran. Siapa bilang bangkai kapal bisa langsung jadi rumah ikan?.
Katanya, hasil penelitian menunjukkan obyek baru untuk rumah ikan (artificial reef) memerlukan waktu berbulan-bulan dan bahkan tahunan untuk ikan mau menempati sebagai rumahnya. Begitu juga dengan bangkai kapal yang bau minyak dan belum teradaptasi dengan ekosistem dasar laut.
“Selain itu, getaran bom yang merambat di perairan akan mengganggu biota laut, bahkan mematikan. Coba saja kita melakukan “skin diving” disekitar tempat kapal yang dibom untuk ditenggelamkan, pasti gendang telinga kita pecah, pembuluh darah kita rusak,” ujarnya.
Lanjutnya, sudah dibuktikan kerusakan organ fisiologis ikan akibat pengeboman ikan melalui penelitian yang telah dilakukan oleh mantan mahasiswa S3 bimbingan saya tahun 2004.
Kalau penenggelaman dengan cara dibom untuk tujuan gagah-gagahan dan heroik agar semua orang di dunia berdecak, sambungnya, maka tujuannya sudah tercapai. Untuk dikatakan memberikan efek jera, kenyataannya sudah dilakukan selama 3 tahun para pencuri ikan juga tidak jera-jera. Ya karena mereka mencuri ikan menjadi pekerjaan dan sudah diniatkan dengan berbagai resiko, sama halnya dengan penyeludup narkoba, nggak pernah jera meskipun hukumannya sangat berat.
“Jadi bila penenggelaman kapal terus dilakukan hanya akan mubazir dari aspek biaya dan waktu. Kita akan lelah hanya untuk membombardir kapal-kapal IIU fishing, sehingga lupa untuk mengerjakan PR yang lebih penting yaitu, percepatan industri perikanan untuk meningkatkan ekspor dan kesejahteraan nelayan,” bebernya.
“Silent vessel sinking enforcement” atau dimusnakan dengan cara “dismantle” seperti yang dilakukan di Malaysia lebih elegan atau memang orang kita sukanya seremonial dan yang heboh-heboh ya,” ujarnya.
“Di Malaysia yang kenyataannya lebih maju, dan masyarakatnya pun lebih maju, low enforcement tetap keras tapi elegan pelaksanaanya. Hukuman mati pun langsung digantung di tiang gantungan sampai mati tanpa koar-koar segala.
Salam semangat pagi dari Kuala Lumpur,” pungkas Prof. Rokhmin Dahuri
( Rusdianto)