By: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Majelis Pusat Front Nelayan Indonesia (FNI)
JAKARTA – Sejak mencuatnya topik mengenai impor garam industri mengemuka dalam rapat kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Komisi IV DPR RI di gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat, Senin (22/1/2018).
Kali ini anggota Komisi IV pertanyakan tentang kuota impor garam yang capai 3,7 juta ton yang perizinannya melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang dipersyaratkan tanpa perlu rekomendasi KKP.
Konteks pembenahan melalui impor sebenarnya tidak kompatibel dengan visi poros maritim. Sedemikian banyak akselerasi program perbaikan hidup masyarakat pesisir dengan penataan ruang yang dilakukan oleh KKP saat. Relativitas keberhasilan yang dicapai 80% pada tahun 2018 ini. Perbaikan tata ruang masyarakat pesisir ini basisnya pada petani garam. Maka Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dipimpin Susi Pudjiastuti sudah berhasil lakukan normalisasi tata ruang wilayah petani garam. Namun, masih di imbangi impor garam yang selama ini harusnya berkurang.
Kalau KKP saat ini rekomendasikan 2,2 juta ton impor garam tahun 2018. Sebelumnya pemerintah mengimpor garam sebanyak 75.000 ton dari Australia demi mengatasi kelangkaan garam di sejumlah daerah. Keputusan itu ditempuh secara hati-hati mengingat pada Juni lalu kepolisian menangkap direktur utama PT Garam dalam kasus dugaan penyalahgunaan izin impor dan distribusi garam industri sebanyak 75.000 ton.
Kenaikan harga garam dirasakan hingga ke Sumbawa yang merupakan sala satu daerah produksi garam dibagian wilayah Indonesia Timur. Garam Sumbawa di distribusi keberbagai daerah seperti Bima, Pulau Jawa, dan Kalimantan.
Kita bisa lihat harga saat ini di wilayah Pontianak, Kalimantan Barat mencapai sekarang Rp. 6.000 per kilogram, sebelumnya Rp. 4.500 sampai Rp. 5.000 per kilogram. Kalau dijual dengan harga Rp. 6000 ke pengasinan ikan, harganya nggak masuk.
Data KIARA (koalisi rakyat untuk keadilan perikanan) dalam lima tahun terakhir, menyebutkan jumlah petani tambak garam di Indonesia menurun drastis, yakni dari 30.668 jiwa pada tahun 2012 menjadi 21.050 jiwa di 2016. Artinya, ada sekitar 8.400 petani garam yang alih profesi. Sebagian besar menjadi buruh kasar atau pekerjaan informal lainnya dan berkontribusi terhadap fenomena migrasi kemiskinan dari desa ke kota.
Sebenarnya beberapa hal yang dapat diperbaiki pada petani garam Indonesia agar tidak secara terus menerus lakukan impor garam, yakni pertama, mengguranggi gerak laju kartel garam, antisipasi adanya penimbunan garam dibanyak daerah dan tempat-tempat vital harus segera di identifikasi oleh pemerintah. Karena selama ini, kartel garam dengan modua antar perusahaan, seperti beberapa waktu lalu kasus pengambilan garam di Sumbawa dan Bima dibawa melalui Madura untuk ditimbun dalam jumlah ribuan ton. Ini yang harus diantisipasi oleh pemerintah.
Kedua, Peningkatan teknologi geonembran untuk meningkatkan produksi garam Indonesia. Alat teknologi ini belum terdistribusi secara baik pada petani garam. Terutama daerah-daerah pelosok timur Indonesia. Apalagi konteks harga masih belum terjangkau untuk dimiliki petani garam.
Mestinya pemerintah, lakukan alih teknologi bersama petani dan diberikan pendidikan (education) cara memelihara dan produksi garam secara baik dan benar.
Ketiga, Peningkatan infrastruktur petani garam, mulai jalan distribusi, pemeliharaan kualitas garam dan motorisasi distribusi. Hal ini untuk menunjang kinerja petani garam, sebagaimana saat ini masih lemah.
Ketiga konsep diatas, apabila dilakukan secara nasional maka antisipasi pemerintah jauh lebih baik terhadap impor garam. Apalagi, alasan selama ini lantaran adanya ketimpangan antara produksi dan konsumsi garam nasional.
Petani masih mengandalkan matahari dan masih memakai alat sederhana, yaitu pengeruk kayu dan kincir angin. Artinya, kalau ingin bicara bicara kualitas dan peningkatan kapasitas. Maka harus mengalihkan perhatian petani garam dengan kemudahan mendapat modal dan teknologi.
Produksi garam nasional pada 2016 hanya mencapai 144.000 ton dari kebutuhan sebanyak 4,1 juta ton. Adapun dari kebutuhan 4,1 juta ton, 780.000 ton untuk konsumsi publik, sedangkan sisanya untuk keperluan industri. Jika cuaca mendukung, produksi garam Indonesia bisa mencapai 1,9 juta ton per tahun. Faktor cuaca adalah penyebab utama produksi garam nasional begitu minim selama setahun terakhir.
Indonesia memang merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan panjang 99.093 kilometer. Faktanya, hanya segelintir diantara puluhan ribu kilometer pantai itu yang bisa dijadikan lokasi tambak garam, seperti di Nusa Tenggara Barat lahan tambak garam capai 10 ribu hektar. Tetapi, yang terpakai dan belum maksimal sekitar 1,500 hektar. Berarti banyak lahan petani garam di Indonesia belum maksimal.
Lokasi tambak garam sangat dipengaruhi sejumlah faktor, antara lain air laut dan tanah lokasi. Kita bisa lihat data terbaru perkembangan lahan yang cocok dijadikan lokasi tambak garam hanya 26.024 hektare. Bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia sehingga produksi garamnya berlimpah.
Impor tidak bisa terus dijadikan jalan pintas tanpa solusi jangka panjang. Keberpihakan pemerintah kepada petani garam kelihatannya belum menjadi prioritas utama. Masukan kepada pemerintah, harus lebih digiatkan kembali program PUGAR (Program Garam Rakyat). Sangat disayangkan bahwa, dari jumlah peningkatan produksi ini hanya mencapai target sebesar 50%. Realisasi bantuan kepada petambak garam juga tidak pernah mencapai 100%. Menstinya ada bantuan teknologi.
Rantai penyediaan garam begitu panjang sehingga petambak garam tidak pernah merasakan keuntungan besar ketika harga garam naik. Dari perspektif industri, lebih baik impor garam karena rantai pasokannya ringkas. Kalau membeli produk garam lokal, ada tujuh mata rantai dan tiap mata rantai ada biayanya sehingga ketika sampai ke level konsumen jadi lebih mahal.
Karena itu, pemerintah harus memiliki skema dan struktur distribusi yang jelas agar swasembada garam dapat terwujud dan Program Garam Rakyat (PUGAR) dapat dicapai.
Melihat angka angka 3,7 juta ton garam industri yang hendak diimpor itu juga terlalu besar. Sehingga bisa dikatakan target Swasembada Garam tahun 2019 sangatbsulit dicapai. Mestinya tahun 2018 ini pemerintah tidak impor garam sebanyak itu.
Menurut Ono Surono, Komisi IV DPR RI bahwa kebijakan impor garam industri 3,7 juta ton pun dinilai rentan terhadap rembesan, yang nantinya bisa memengaruhi stok garam di pasaran di mana mestinya dikuasai garam dalam negeri, bukan dari garam impor. Sementara KKP telah merekomendasikan jumlah garam industri mengusulkan hanya 2,2 juta ton garam industri jika hendak mengimpor sesuai dengan kebutuhan nasional.
Usul juga, dipemerintah pun harus perpendek regulasinya tentang kuota impor garam. Yang berhak mengatur dan rekomendasikan itu hanya KKP yang mengetahui situasi tata ruang wilayah petani garam. Sehingga alur regulasi haram itu tidak berbelit dan panjang. Karena kalau saja panjang, maka potensi markup impor garam sangat berpotensi.[]