Oleh : Dr. Chazali H. Situmorang/ Dosen FISIP UNAS-Pemerhati Kebijakan Publik.
Keinginan Jenderal Edy menjadi Gubernur Sumatera Utara sudah lama saya ketahui dari diskusi saya sebagai Ketua IKA USU Jakarta bersama beberapa pengurus datang ke Makostrad tahun lalu.
Jenderal Edy adalah salah satu Penasehat PW IKA USU Jakarta, dan kami terlibat pembicaraan tentang masa depan masyarakat Sumatera Utara. Pada kesempatan tersebut, terungkap kekecewaan sang Jenderal terhadap berbagai permasalahan, dan kasus-kasus korupsi yang melanda pemerintah propinsi maupun kabupaten.
Lambatnya pembangunan, jalan-jalan sepanjang lintas Sumatera Utara rusak tak karuan. Indikator-indikator ekonomi yang stagnan bahkan cenderung menurun tentu perlu dilakukan upaya akselerasi/percepatan penyelesaiannya.
Disitulah tercetus keinginan Jenderal Edy yang disampaikan kepada kami (tentu bukan kepada kami saja) untuk maju sebagai calon Gubernur Sumatera Utara. Berbagai pemikiran banyak disampaikan kepada kami, dan seluruh pengurus IKA USU Jakarta yang hadir bersemangat juga untuk mendorong sang Jenderal. Kapan lagi Sumut di pimpin oleh seorang Letnan Jenderal dari pasukan elite (Pangkostrad) agar Sumut terbangun dari tidur panjangnya.
Saat ini, sang Jenderal sudah resmi menjadi Calon Gubernur, didampingi seorang anak muda bernama Musa Rajekshah. “Sudah konfirm ke Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah,” kata Sekjen PAN Eddy Soeparno kepada Kompas.com, Selasa (26/12/2017).
Ketiga partai Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional memutuskan sepakat mengusung Pangkostrad Letjen Edy Rahmayadi sebagai calon Gubernur Sumatera Utara. Edy akan dipasangkan dengan tokoh muda Sumut, Musa Rajekshah.
Eddy (Sekjen PAN) mengatakan, keputusan ini diambil berdasarkan komunikasi intensif yang dibangun ketiga parpol selama ini. Namun, keputusan akhir diambil dalam pertemuan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Presiden PKS Sohibul Iman, pada Minggu (24/12/2017) kemarin di Kantor DPP PKS, Jakarta.
Dengan berkoalisi, tiga partai memiliki 28 kursi DPRD Sumut, jauh lebih besar dari syarat minimum sebesar 20 kursi. Rinciannya, Partai Gerindra (13 kursi), PKS (9 kursi), dan PAN (6 kursi). Selanjutnya tanpa ada tanda-tanda sebelumnya partai Golkar, Nasdem dan Hanura bergabung mendukung Edy.
Sungguh suatu koalisi gemuk (total 60 kursi) yang tidak diketemukan pada Pilgub propinsi lain.
Mantan Pangkostrad ini berharap bisa memenangkan Pilgub Sumut 2018. Namun dengan rendah hati diakuinya semua tergantung kepada rakyat.
“Sengotot apapun saya, kalau rakyat tidak mau, tidak jadi saya ini,” sebutnya.
Edy menginginkan Sumut lebih maju dan kembali berjaya seperti halnya sepakbola nasional. Menurutnya, daerah ini sangat kaya dan kekayaan itu harus digunakan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi rakyat jelata.
“Saya (sebelumnya) tidak rasakan karena saya Pangkostrad. Tapi sekarang saya turun, sama-sama kita rasakan untuk membangun Sumut ini,” ucapnya.
*Peta kekuatan*
Jenderal Edy, punya pengalaman panjang memegang komando dalam satuan-satuan TNI. Pengalaman sebagai Panglima Kodam Bukit Barisan, dan putra asli Sumatera Utara, tentu sudah mengenal betul kondisi Sumatera Utara.
Rakyat Sumut merasakan ketegasan Jenderal Edy sewaktu Pangdam dan ketegasan itu saat ini yang diperlukan, karena ketegasan itu telah hilang pada diri pemimpin Pemerintahan di Sumatera Utara.
Elektibilitas Jenderal Edy terus meningkat, apalagi sempat berkembangnya pemberitaan di media bahwa adanya upaya mempersulit untuk berhenti dalam kedinasan di TNI.
Itulah gaya masyarakat Sumatera Utara, semakin ada upaya menghambat ( padahal belum tentu ), sikap spontan dan solidariti segera bangkit yang ditunjukkan dengan meningkatnya elektibilitas melampui jauh calon Gubernur JR Saragih dan Djarot.
Kekuatan Jenderal Edy juga karena belum pernah duduk di penyelenggaraan pemerintah daerah, tetapi punya pengalaman panjang sebagagai pemimpin suatu organisasi militer yang sangat disiplin.
Soal kemampuan menyelenggarakan pemerintah, tentu terletak pada kompetensi dan profesionalisme SKPD yang dibawah kendali Gubernur.
Sumatera Utara banyak para ahli, apalagi yang diproduksi oleh USU sebagai Universitas tertua di Sumatera. Kehilangan terbesar Sumatera Utara saat ini adalah lemahnya kepemimpinan baik Gubernur, maupun sebagian besar Bupati/Walikota.
Rivalitas Jenderal Edy, yaitu dua kandidat lainnya JR Saragih dan Djarot Syaiful Hidayat, memang sudah malang melintang di pemerintahan. JR Saragih sudah periode kedua sebagai Bupati Simalungun dan Djarot Syaiful Hidayat pernah Waikota Blitar, Wakil Gubernur dan Gubernur DKI.
JR Saragih yang mantan militer (pangkat terakhir Letkol), selama menjadi Bupati Simalungun sering mendapatkan pemberitaan yang “miring” tentang kepemiimpinannya.
Misalnya mutasi pejabat eselon IV dan III, dan juga Ka.SKPD yang terlalu sering dilakukan, dan kebijakan yang dilakukan selama menjadi Bupati akan menjadi isu seksi dan sensi dalam masa menjelang dan kampanye nantinya.
Disamping itu, posisinya sebagai Bupati yang dikenal di Kabupatennya saja, tentu memerlukan _effort_ yang kuat untuk dapat mengambil hati masyarakat di Kabupaten lainnya.
Apalagi kalau ada nada ketidak puasan sebagian masyarakat Simalungun yang mencuat dalam masa-masa kampanye akan merepotkan JRS.
Bagaimana dengan Djarot Syaiful Hidayat. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri ingin mesin politik bergerak memenangkan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara, Djarot Saiful Hidayat dan Sihar Sitorus.
“Ibu Megawati menegaskan semua pengurus partai harus memenangkan Djarot-Sihar. Diminta seluruh partai dan kader bekerja. Bila di wilayahnya kalah sanksi dipecat,” ujar Wakil DPD PDIP Sumut, Hendry Jhon Hutagalung kepada Tribun Medan, di Danau Toba Hotel, Sabtu (20/1/2018).
Hadirnya Djarot di Sumut dengan Sihar Sitorus, memang suatu phenomena yang menarik. Setidaknya, ada dua blunder yang dihadapi PDIP dengan mencalonkan Djarot dalam Pilkada Sumatera Utara. *Pertama* adalah blunder kehadiran Djarot sendiri di Sumatera Utara.
Di Sumatera Utara gerakan alumni 212 cukup besar dan terkonsolidasi. Djarot ikut imbas sebagai pihak yang bersama penista agama (Ahok), menimbulkan sentimen negatif kehadirannya di Sumut, disamping ada perasaan diremehkan karena PDIP mencalonkan Djarot yang telah kalah dalam Pilgub DKI.
Masyarakat Sumut juga masih ingat bagaimana sikap Djarot meninggalkan Jakarta saat pelantikan Gubernus Anis-Sandi, pergi berlibur ke NTT. Suatu sikap yang tidak menggambarkan seorang negarawan dan Penyelenggara Pemerintahan yang menjadi panutan.
Bukan itu saja rupanya. Ternyata dalam penyusunan RAPBD 2018, banyak pos-pos anggaran yang terkunci, sehingga Anis- Sandi kesulitan merealisasikan program dan kegiatan sesuai janji kampanye. Jika karakter kepemimpinan seperti ini memimpin Sumut, bersiap-siaplah Sumut akan kembali ke titik nol.
Blunder *kedua* adalah, pencalonan Djarot-Sihar, juga sudah memakan korban dipecatnya Ketua DPW PPP Sumatera Utara oleh Ketua Umum PP PPP, karena menolak mencalonkan pasangan Djarot – Sihar.
Akibatnya gambar /foto Ketum PPP di bakar oleh kader PPP di Sumatera Utara. Dari sini sudah jelas, walapun PPP kebijakan Ketumnya mencalonkan Djarot-Sihar, sudah dapat dipastikan mesin politik PPP di _grassroot_ tidak akan berjalan.
Bahkan bisa jadi mengemboskan suara Djarot-Sihar. PPP saat ini sudah diambang kehancuran, khususnya di Sumatera Utara bahkan juga secara Nasional. Partai lama disamping PDIP dan Golkar, yang nasibnya ibarat lebay malang.
*Peluang Emas*
Dengan berbagai situasi diatas, secara objektif maupun subjektif, maka Jenderal Edy berpeluang emas untuk memenangkan perebutan suara rakyat Sumatera Utara dalam pesta demokrasi yang akan dilaksanakan dalam beberapa bulan mendatang ini.
Tetapi dalam politik, apapun bisa terjadi. Kepala bisa jadi kaki, dan kaki bisa jadi kepala. Pada awalnya disangka emas rupanya cuma loyang. Wajah _innocent_, tetapi hatinya berbulu.
Lain yang dikerjakan dengan yang diucapkan. Banyaknya orang-orang sekitar yang tidak amanah. Berjanji tidak ditepati. Itu semua variabel-variabel yang ada dan muncul dalam setiap event pemilihan seperti Pilkada mendatang ini.
Jika variabel-variabel tersebut sudah terdeteksi, langsung saja Jenderal Edy lakukan amputasi, karena itu akan menjadi virus yang cepat mewabah seperti wabah difteri yang mematikan.Termasuk Panglima Talam yang sering merugikan citra Raja pada jaman kerajaan Melayu yang lalu.
Selamat berjuang Jenderal Edy Rahmayadi, menuju Sumatera Utara yang *bermartabat*.
Cibubur, 22 Januari 2018