JAKARTA detikperistiwa.com – Himbauan Kementerian Riset, Tehknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemrnristek-Dikti) Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, dinilai sebagai ajang untuk membungkam gerakan mahaiswa supaya tidak melakukan kritikan terhadap pemerintah.
“Kita menilai surat atau himbauan itu sebagai bentuk, pembungkaman kepada para aktifis mahasiswa,” sebut Riski Aktifis Kader HMI, Jumat (4/11).
Lanjutnya, surat tersebut, pada Tanggal 2 November 2016 dengan nomor: 350/B/SE/2016, perihal himbauan unjuk rasa 4 November 2016. Surat tersebut ditujukan kepada seluruh perguruan tinggi se Indonesia.
Sambungnya, surat itu berisikan, menindak lanjuti himbauan Presiden Republik Indonesia perihal unjuk rasa 4 November 2016 agar dalam pelaksanaannya tidak memaksakan kehendak, merusak atau anarki, maka Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan dengan mempertimbangkan.
Bahwa sesuai dengan UUD 1945, setiap warga negara memiliki hak dasar hal kebebasan berfikir dan bersikap, kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.
Bahwa sesuai dengan Tridhrama Perguruan Tinggi, setiap perguruan tinggi perlu menempatkan diri sebagai intitusi aktif yang netral non-partisan dalam kaitannya dengan keberadaan dan kegiatan setiap kelompok, golongan, atau kekuatan politik yang ada di masyarakat.
Berdasarkan butir 1 dan 2, dihimbau kepada civitas akademika (dosen dan mahasiswa), untuk tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan 4 November tersebut di atas, apabila terdapat civitas akademika yang terlibat dalam kegiatan tersebut, tidak diperbolehkan mengatasnamakan dan membawa proferti/atribut perguruan tinggi, serta tidak meninggalkan kewajiban dalam menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi
Diharapkan agar pimpinan perguruan tinggi bersama seluruh civitas akademika dapat tetap menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi, dan menjaga budaya akademik agar tetap kondusif, sebagaimana diamanahkan pada UU No.12/2012 Tentang Pendidikan Tingi.
“Surat tersebut ditanda tangai Direktur Jenderal Intan Ahmad, jadi kami menilai kalau hal sebagai bentukan pembukaan aktifis mahasiswa,” tutup Riski lagi.
Tambahnya, sikap ini mengingatkan kembali nuansa normalisasi kehidupan kampus yang membungkam kehidupan politik kaum akademik di zaman Orde Baru. “Saya secara pribadi menyesali kalau kampus mau diintervensipemerintah. Ketika kampus dan mahasiswa sudah dilarang untuk bersuara, tentu karena larangan menteri itu, maka itu bentuk pemerintah untuk menipu rakyat sekaligus mengekang hak demokrasi warga negara. Kok kampus sudah rela diintervensi pemerintah untuk menipu rakyat? Ke mana lagi rakyat kita mau menaruh kepercayaan? Karena sejauh ini suara dari kampus yang masih relatif dipercaya rakyat,” tukas Putra Jawa Barat ini mengakhiri. (oki/raja)